Keutamaan Shalat Dhuha
Puji syukur
senantiasa kita panjatkan kepada Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi MuhammadShallallahu
‘alaihi wa sallam,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang setia mengikutinya sampai
datang hari kiamat, amin.
Para pembaca
yang dirahmati Allah Ta’ala, dalam edisi ini insya Allah akan kami uraikan perkara yang
berkaitan dengan shalat Dhuha. Semoga sedikit yang disampaikan ini bisa
menggugah hati kita untuk mau membiasakan diri melaksanakannya, amin.
DEFINISI DAN KEUTAMAANNYA
Dhuha secara
bahasa artinya waktu terbitnya matahari atau naiknya matahari. Sedangkan
menurut istilah ahli fiqih, dhuha adalah waktu antara naiknya matahari sampai
menjelang zawal (tergelincir matahari). Jadi shalat Dhuha artinya
shalat sunnah yang dilakukan pada waktu antara naiknya matahari sampai
menjelang zawal.
Banyak
hadist yang menjelaskan tentang keutamaan shalat Dhuha, diantaranya hadist dari
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
: “Setiap ruas jari salah seorang di antara kalian wajib
untuk disedekahi setiap hari. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid
adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,
mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah dari kemungkaran juga
sedekah. Dan semua itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang dia
lakukan di waktu Dhuha.”[1]
Dalam hadist
yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dalam tubuh manusia ada 360 ruas tulang. Maka wajib
baginya setiap hari untuk menyedekahi atas masing-masing ruas tulang tadi
dengan suatu sedekah.” Para sahabat bertanya, ‘Siapa yang mampu melakukannya, wahai Rasulullah?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dahak yang
kamu lihat di dalam masjid lalu kami menimbunnya, atau sesuatu yang
(mengganggu) kamu singkirkan dari jalan (termasuk sedekah), kemudian apabila
kamu tidak mampu, maka dua raka’at di waktu Dhuha sudah mencukupi bagimu.” [2]
Dalam hadist
yang lain dijelaskan :
HUKUM SHALAT DHUHA
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum shalat Dhuha :
1.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat Dhuha hukumnya sunnah secara mutlak,
dan sebaiknya seseorang bisa membiasakannya setiap hari. Mereka berdalil
beberapa hadist, diantaranya :
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Kekasih
saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah berwasiat kepada saya
dengan tiga perkara : Puasa tiga hari dalam setiap bulan, shalat dua raka’at di
waktu Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” [4]
Dan juga
keumuman hadist yang menjelaskan keutamaan shalat dhuha, khususnya hadist yang
menjelaskan bahwa shalat Dhuha bisa mengganti kewajiban sedekah atas setiap
ruas tulang setiap harinya.
Dan juga
keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amalan yang
paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara berkelanjutan meskipun
sedikit.” [5]
2.
Disunnahkan dilakukan kadang-kadang, tidak terus menerus. Diantara dalil yang
dipakai pendapat ini adalah :
Dari Abu
Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha sampai-sampai kami
mengatakan beliau tidak meninggalkannya. Dan beliau juga meninggalkan shalat
Dhuha sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak mengerjakannya.” [6]
Fulan bin
Jarud berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu : “Apakah Nabi
shalat Dhuha ?” Dia
menjawab, “Saya tidak melihat beliau melakukan shalat Dhuha
selain hari tersebut.” [7]
Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata
: “Sungguh apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan suatu amalan padahal beliau senang melakukannya, maka itu
karena beliau khawatir manusia akan ikut melakukannya lalu diwajibkan atas
meraka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat
Dhuha sama sekali, tapi aku sendiri sungguh melakukannya.” [8]
3.
Tidak disunnahkan kecuali apabila ada sebabnya, seperti ketika seseorang luput
shalat malam maka disunnahkan baginya untuk mengqadha’-nya diwaktu Dhuha.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat ini :
a.
Apa yang diceritakan Ummu Hani’ bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk
rumahnya pada waktu Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), lalu
beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi dan
shalat delapan raka’at di waktu Dhuha.[9]
Mereka
mengatakan :’Shalat delapan raka’at yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam disebabkan
oleh Fathu Makkah, dan kebetulan dilakukan di waktu Dhuha’.
b.
Kisah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ‘Itban bin Malik ketika
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang datang ke rumahnya untuk
melaksanakan shalat, yang akhirnya tempat shalatnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dijadikan
sebagai musholla (tempat shalat), dan shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertepatan
di waktu Dhuha.[10]
c.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan ketika ditanya Abdullah bin
Syaqiq : “Apakah RasulullahShallallahu
‘alaihi wa sallam
melaksanakan shalat Dhuha ?” maka dia menjawab, “Tidak, kecuali apabila beliauShallallahu
‘alaihi wa sallam pulang dari
bepergian.”[11]
Dari tiga
pendapat diatas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran insya Allah pendapat yang pertama, yaitu
disunnahkan shalat Dhuha secara mutlak, dan juga disunnahkan untuk dibiasakan
setiap hari, berdasarkan keumuman hadist yang memberikan dorongan untuk
melaksanakan shalat Dhuha. Terlebih lagi hadist yang menjelaskan bahwa shalat
Dhuha bisa menggantikan 360 sedekah atas ruas tulang manusia yang setiap
harinya wajid disedekahi.
Adapun
berkaitan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tidak membiasakannya
setiap hari, maka ini bukan berarti shalat Dhuha tidak disyari’atkan. Sebab
kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambukanlah merupakan syarat
disyar’atkannya suatu amalan. Oleh karena itulah Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata :“Dan
tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha
sama sekali, tapi aku sendiri benar-benar melakukannya.”[12]
WAKTU DAN JUMLAH RAKA’AT
Waktu shalat
Dhuha diawali sejak naiknya matahari, yaitu sekitar ¼ jam setelah munculnya
matahari sampai menjelang zawal (tergelincirnya matahari), selagi
belum masuk waktu terlarang untuk shalat. Dan sebaiknya seseorang yang ingin
melaksanakan shalat Dhuha agar mengakhirkan waktunya sampai sengatan terik
matahari terasa panas, berdasarkan hadist Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Shalatnya
orang-orang yang bertaubat adalah ketika anak unta mencari tempat yang teduh.” Dan ini biasanya terjadi menjelang
zawal.
Shalat Dhuha
minimalnya dua raka’at, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Hal ini
berdasarkan hadist yang disampaikan di muka : “Dan semua
itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang di lakukan di waktu Dhuha.”[13] dan juga berdasarkan wasiatnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Abu
Hurairahradhiyallahu ‘anhu untuk tidak meninggalkan dua raka’at di waktu Dhuha.
Namun mereka
berselisih pendapat tentang batas maksimalnya. Ada yang berpendapat maksimal
adalah delapan raka’at, berdasarkan hadist dari Abdurrahman bin Abin
Laila radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Tidak ada
seorang pun yang mengabarkan kepada saya bahwasanya dia melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani’.
Sesungguhnya dia menceritakan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk rumahnya pada waktu Fathu Makkah, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat delapan raka’at [14]
Dan ada yang
berpendapat maksimalnya dua belas raka’at, berdasarkan hadist dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa shalat Dhuha dua belas raka’at, maka
Allah akan membangunkan istana untuknya di surga kelak.”[15]
Dan diantara
mereka ada yang berpendapat tidak ada batas maksimalnya. Dan inilah pendapat
yang lebih benarinsya Allah, berdasarkan hadist dari Aisyah radhiyallahu
‘anha dia berkata
: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat Dhuha empat raka’at dan beliau menambah (jumlah raka’atnya) sesuai
kehendak Allah.” [16]
Adapun
penjelasan Ummu Hani’ bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat
delapan raka’at pada saatFathu Makkah, maka sebagian ulama menjelaskan bahwa shalatnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamwaktu itu adalah shalat Fath, bukan
shalat Dhuha. Anggaplah shalat itu adalah shalat Dhuha, maka jumlah delapan
raka’at yang dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak menunjukkan
pembatasan, tapi merupakan kejadian tertentu atau kebetulan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalatnya
delapan raka’at.
Wallahu a’lam bish shawab.
No comments:
Post a Comment