Friday, 26 February 2016

RORO JONGGRANG

RORO JONGGRANG


Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.


Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”, Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.

Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.

BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH

BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Cerita Rakyat Riau, Sumatera

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Kisah Legenda Putri Tujuh (Asal Mula Kota Dumai Riau)

 Kisah Legenda Putri Tujuh (Asal Mula Kota Dumai Riau)

Cerita Rakyat Tentang Putri tujuh

 Kisah  Putri Tujuh

Pada zaman dulu, di daerah Dumai ada sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung yang dipimpin oleh Ratu Cik Sima yang memiliki tujuh Putri yang sangat cantik. Putri yang paling cantik yaitu putri paling bungsu bernama Mayang Sari, kulitnya yang halus bagai sutra, tubuhnya mempesona, wajahnya berseri bagaikan bulan purnama, alisnya bagaikan semut beringin, bibirnya merah bagai delima dan rambutnya yang begitu panjang juga ikal. Karena rambutnya itu ia dipanggil dengan sebutan Mayang Mengurai.
Suatu ketika, ketujuh putri itu mandi di lubuk Sarang Umai, karena mereka sedang asyik mandi mereka tak sadar kalau ada yang sedang memperhatikan yaitu Pangeran Empang Kuala dan pengawalnya yang kebetulan mereka lewat. Sang Pangeran bersembunyi di balik semak-semak dan dia terpesona oleh salah satu putri yaitu Putri Mayang Sari.
Sang Pangeran ternyata jatuh cinta kepada sang putri dan ia berniat untuk meminangnya. Dan tak lama setelah itu, mengirim utusan ke keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk meminang putri itu yang ternyata bernama Mayang Mengurai. Lalu sang Pangeranpun mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja. Pinangannya itupun disambut dengan adat yang ada di kerajaan itu, yaitu mengisi pinang dn gambir pada combol plaing besar yang ada diantara ketujuh combol itu yang terdapat di tepuk. Sedangkan enam buah combol llainnya dibiarkan kosong. Lambang dari adat ini yaitu, putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu. Dengan begitu pinangan sang Pangeran di tolak. Utusannya pun kembali kepada sang Pangeran.
“Ampun Pangeran, tidak bermaksud hamba mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga tanjung belum bersedia untuk menerima pinangan Tuan”. Ucap utusannya.
Sang Pangeranpun begitu murka dan dia tidak peduli lagi dengan adat karena hatinya dipenuhi dengan rasa malu hingga akhirnya ia memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Peperanganpun tak dapat lagi dielakan, sehingga ratu Cik Sima melarikan ketujuh Putrinya ke hutan dan disembunyikan di lubang yang terlindung dari pepohonan juga beratapkan tanah. Sang Ratu memberikan makanan untuk selama 3 bulan kepada putri-putrinya itu dan ia kembali untuk melawan pasukan Pangeran Empang Kuala.
Tiga bulanpun berlalu, namun peperangan itu belum usai, nmaun ketika memasuki bulan keempat pasukan Ratu Cik Sima semakin tak berdaya hingga akhirnya Negeri Seri Bunga Tanjungpun dihancurkan rakyatnyapun tak sedikit yang tewas. Melihat negerinya hancur Ratu Cik Simapun pergi meminta bantuan kepada jin yang ada di bukit Hulu Sungai Umai.
Ketika senja, pasukan Pangeran Empang Kuala beristirahat di bawah pohon bakau di hilir Umai. Namun ketika malam tiba, secara tiba-tiba buah bakau menimpa mereka dan menusuk pada badan mereka hingga pasukanpun dapat dilumpuhkan. Ketika itu juga utusan Ratu Cik Sima datang menghampiri Pangeran Empang Kuala yang sedang lemas. Sang pangeranpun bertanya.
“Apa maksud kedatanganmu wahai orang Seri Bunga Tanjung?”. Ucap Pangeran
Para utusan Ratu Cik Sima langsung menjawab.
“hamba hanya ingin menyampaikan pesan dari Ratu Cik Sima supaya pangeran tidak lagi meneruskan peperangan ini. Karena perbuatan ini merusak bumi sakti rantau bertuah dan juga menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Jika ada yang datang dengan niat yang buruk, maka dia akan ditimpa malapetaka, namun jika ia datang dengan niat baik maka kesejahteraanlah yang akan dia dapatkan.” Ujar Utusan itu.
Mendengar pesannya itu, Pangeranpun enyadari bahwa peperangan ini ia yang memulai dan memerintahkan semua prajuritnya untuk kembali ke negeri Empang kuala.
Lalu keesokan harinya, sang Ratu pergi ke hutan dimana putri-putrinya itu disembunyikan, namun sang Ratu terkejut ketika melihat semua putrinya itu sudah tidak tak bernyawa lagi. Mereka mati karena kelaparan juga kehausan. Karena sang Ratu sedih melihat ketujuh putrinya itu iapun sakit-sakitan hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sampai saat ini pengorbanan ketujuh putri itu selalu di kenang dengan sebuah lirik lagu yang berjudul “Putri Tujuh“.
Sejak saat itu, masyarakat meyakini bahwa kota Dumai diambil dari kata “d’umai” yang selalu di ucapkan oleh Pangeran Empang Kuala ketika sang Pangeran melihat kecantikan Putri Mayang Sari.

keong emas

Cerita Rakyat Tentang Keong Emas Si Putri Cantik


Cerita Rakyat Tentang Keong Emas Si Putri Cantik

Cerita Rakyat Tentang Keong Emas Si Putri Cantik

Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Daha. Di kerajaan itu hidup dua orang putri yang begitu cantik. Putri itu bernama Dewi Galuh dan Candra Kirana. Kedua putri Raja tersebut hidup serba kecukupan dan juga sangat bahagia.
Suatu hari, datang seorang pangeran dari Kerajaan Kahuripan. Pangeran itu sangat tampan ia bernama Raden Inu Kertapati. Pangeran itu datang ke kerajaan Daha dengan maksud ingin melamarCandra Kirana. Kedatangan pangeranpun sangat disambut baik oleh Raja yang akhirnya Candra Kirana dan Pangeran Inu pun bertunangan.
Namun Dewi Galuh iri atas pertunangan mereka karena ia piker Pangeran Inu lebih pantas untuk dirinya. Dengan begitu Dewi Galuhpun pergi ke nenek sihir untuk meminta supaya Candra Kiranaitu di sihir menjadi sesuatu hal yang menjijikan dan raden Inu menjauhinya.
Nenek sihir langsung mengabulkan keinginan Dewi Galuh dan menyihir Candra Kirana menjadiKeong Emas dan membuang Keong emas itu ke sungai.
Suatu hari, ada seorang nenek yang sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas pun tersangkut di Jalanya si nenek. Keong emaspun di bawa oleh sang Nenek ke rumahnya dan di simpan di tempayan. Keesokan harinya sang Nenek mencari ikan lagi, namun tak satupun ikan yang di dapatnya dan akhirnya si Nenek memutuskan untuk pulang saja.
Ketika sang Nenek tiba di rumah, tiba-tiba ia kaget karena sudah tersedia makanan yang sangat enak di mejanya. Sang Nenekpun heran dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri siapa yang mengirim semua makanan itu.
Kejadian it uterus berulang ketika sang Nenek pergi dari rumahnya, suatu hari sang Nenek ingin tahu dan mengintip siapa sebenarnya yang mengirim masakan itu. Secara tida-tiba sang nenekpun kaget karena Keong emas yang di tempayannya itu berubah menjadi seorang gadis yang begitu cantik. Lalu gadis itu langsung masak dan menyiapkannya di meja, karena sang Nenek sangat penasaran, sang Nenek pun menghampiri dan menegur putri yang cantik itu.
“Siapa kamu wahai putri yang cantik? Dan dari manakah asalmu?”. Tanya sang Nenek
“Aku seorang Putri dari Kerajaan Daha Nek, aku disihir menjadi Keong emas oleh seorang Nenek Sihir atas perintah saudariku karena ia iri padaku”. Jelasnya candra Kirana
Setelahnya ia menjelaskan asal-usul dirinya, iapun berubah kembali menjadi Keong emas. Sang nenekpun begitu heran.
Sementara itu, Pangeran Inu tak mau diam saja ketika ia mengetahui kalau Candra Kirana hilang. Iapun dengan segera mencari tahu keberadaannya dengan menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihir yang jahat itupun mengetahui tujuannya pangeran Inu dan akhirnya si Nenek sihir menyamar menjadi burung gagak.
Raden Inu Kertapati kaget ketika ia melihat burung gagak yang bisa berbicara dan juga mengetahui tujuannya. Sang Pangeran menganggap kalau burung itu sakti dan menuruti kemauannya, padahal Raden Inu diberikan jalan yang salah oleh si burung gagak itu.
Di tengah-tengah perjalanan sang Pangeranpun bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, sang Raden pun memberinya ia makan. Sang Kakek tua itu ternyata orang yang sangat sakti sehingga ia menolong sang Pangeran dari burung gagak tersebut dengan memukul burung itu dengan tongkatnya sehingga sang burung berubah menjadi asap.
Sang Pangeranpun menceritakan perjalannya kepada sang kakek, dan sang kakek menyuruh Raden untuk pergi ke Desa Dadapan. Setelah menghabiskan waktu beberapa hari, sampailah ia di Desa Dadapan tersebut dan mendekati sebuah gubuk dengan niatan ingin meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis.
Ketika ia melihat dari balik jendela, ia sangat terkejut sekali, ternyata di dalam gubuk itu ada Candra Kirana yang sedang memasak.
Karena pertemuannya itu Candra Kiranapun akhirnya trelepas dari sihir dan mereka pun akhirnya kembali ke istana dengan membawa sang nenek yang baik hati itu juga.
Candra Kiranapun menceritakan semua perbuatan Dewi Galuh kepada baginda Kertamarta. Sang Bagindapun meminta maaf atas kejadian itu kepada putrinya Candra kirana dan sang putripun demikian.
Sementara itu Dewi Galuh mendapat hukuman atas perbuatannya itu, namun karena ia takut mendapatkan hukuman itu akhirnya Dewi Galuhpun melarikan diri ke hutan.
Pangeran Inu Kertapati dan Putri Candra Kiranapun akhirnya menikah dengan pesta yang begitu meriah hingga akhirnya mereka hidup bahagia.

Timun Mas

Timun Mas

timun mas

Dahulu kala di Jawa Tengah ada seorang Janda yang sudah tua. Mbok Rondo namanya. Pekerjaannya hanya mencari kayu di hutan. Sudah lama sekali Mbok Rondo ingin mempunyai seorang anak. Tapi dia hanya seorang janda miskin, lagi pula ia sudah tua. Mana bisa ia mendapatkan anak.

Pada suatu hari, sehabis mengumpulkan kayu di hutan. Mbok Rondo duduk beristirahat sambil mengeluh;

"Seandainya aku mempunyai seorang anak, beban hidupku agak ringan, sebab ada yang membantuku bekerja."




cerita timun mas
Tiba-tiba bumi bergetar, seperti ada gempa bumi. Di depan Mbok Rondo muncul raksasa bertubuh besar dan wajahnya menyeramkan. Mbok Rondo takut melihatnya.

"Hai, Mbok Rondo, kamu menginginkan anak, ya? Aku bisa mengabulkan keinginanmu," kata raksasa itu dengan suara keras."

"Benarkah?" tanya Mbok Rondo. Rasa takutnya mulai menghilang.

"Benar....Tapi, ada syaratnya. Kalau anakmu sudah berumur enam belas tahun, kau harus menyerahkannya kepadaku. Dia akan kujadikan santapanku," jawab raksasa itu.

Karena begitu inginnya dia punya anak, maka Mbok Rondo tidak berpikir panjang lagi. Yang penting segera punya anak.
 "Baiklah, aku tidak keberatan," jawab Mbok Rondo.

timun emas
Kemudian, raksasa itu memberi biji mentimun kepada Mbok Rondo. Mbok Rondo segera pulang dan menanam benih itu di halaman belakang.

Setiap hari Mbok Rondo menyirami biji timun itu.
Ajaib!!
Dua minggu kemudian, tanaman itu sudah berbuah. Buahnya lebat sekali.

Diantara sekian banyak buah mentimun yang tumbuh, ada satu satu buah yang sangat besar. Warnanya kekuningan. Kalau tertimpa sinar matahari, buah itu berkilau seperti emas. Mbok Rondo sangat tertarik pada buah mentimun yang paling besar itu, ia memetiknya dan membawa pulang buah yang paling besar itu. 


cerita timun emas

Sampai di rumahnya, Mbok Rondo mengambil pisau dan membelah buah itu. Lalu, ia membukanya dengan hati-hati. Ajaib!
Ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik!

"Ah, ternyata raksasa itu tidak berbohong!" gumam Mbok Rondo.

 "Sekarang aku punya anak perempuan. "Aduh senangnya hatiku."

Mbok Rondo sangat gembira. Ia menamakan bayi mungil ituTimun Emas dan dipanggil "Timun Mas"




timun mas
Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Timun Mas tumbuh mejadi seorang gadis jelita. Mbok Rondo sangat menyayangi Timun Emas.

Pagi itu sangat cerah. Mbok Rondo dan Timun Mas bersiap pergi ke hutan untuk mencari kayu.
Tiba-tiba, Bum...Bum, bum ... Bumi bergetar. Lalu disusul suara tawa menggelegar.

"Hai, Mbok Rondo, keluarlah! Aku datang untuk menagih janji," kata raksasa itu.


Gemetar seluruh tubuh Mbok Rondo, cepat-cepat ia memeluk Timun Mas lalu membisikinya agar gadis itu sembunyi di kolong tempat tidur. Lalu Mbok Rondo keluar menemui raksasa itu.

timun mas
"Aku tahu, kedatanganmu kemari untuk mengambil Timun Mas. Berilah aku waktu dua tahun lagi. Kalau Timun Mas aku berikan sekarang, tentu kurang lezat untuk disantap. Tubuhnya masih kecil."

"Benar juga, baiklah, dua tahun lagi aku akan datang. Kalau bohong, kamu akan kutelan mentah-mentah," ancam raksasa itu.

Sambil tertawa, raksasa itu pergi meninggalkan rumah Mbok Rondo. Mbok Rondo menghela nafas lega. Kemudian, ia masuk ke rumah menghampiri anaknya yang masih bersembunyi di kolong tempat tidur.

"Anakku, Keluarlah. Raksasa itu sudah pergi," kata Mbok Rondo.

timun mas
Dua tahun kemudian, Timun Mas sudah dewasa. Wajahnya semakin cantik. Kulitnya kuning langsat. Tapi, Mbok Rondo cemas jika teringat akan janjinya kepada si raksasa.

Pada suatu malam, ketika Mbok Rondo sedang tidur, ia mendengar suara gaib dalam mimpinya.

"Hai, Mbok Rondo, kalau kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada seorang pertapa di bukit Gandul."

Esok harinya, Mbok Rondo pergi ke Bukit Gandul. Di sana, ia bertemu dengan seorang pertapa. Pertapa itu memberikan empat bungkusan kecil yang isinya biji timun, jarum, garam, dan terasi.



timun mas

Mbok Rondo menerimanya dengan rasa heran. Sang pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu.

Sesampainya di rumah, ia menceritakan perihal pemberian pertapa itu kepada Timun Mas.

"Anakku, mulai saat ini kamu tidak perlu cemas. Kamu tidak perlu takut kepada raksasa itu, sebab kamu sudah memiliki penangkalnya. Berdoalah selalu supaya Tuhan menyelamatkanmu," kata Mbok Rondo.

"Terima kasih Mbok...!"

Demikianlah haripun berganti hari. Hingga pada suatu ketika Mbok Rondo sedang menjahit baju untuk Timun Mas, tiba-tiba bumi berguncang pertanda raksasa datang.


timun mas
"Hem, raksasa itu datang lagi rupanya." gumam Mbok Rondo.

Benar saja, tak lama kemudian raksasa itu sudah berada di ambang pintu.

"Ho... ho... ho... Mana Timun Mas! Ayo, cepat serahkan dia padaku. Aku sudah sangat lapar!" kata raksasa dengan suara menggelegar.

Mbok Rondo keluar dengan tubuh gemetar.

"Baiklah. Akan kubawa dia keluar," kata Mbok Rondo.

Ia segera masuk ke rumah. Diambilnya bungkusan pemberian sang pertapa, kemudian diberikan kepada Timun Mas.

"Anakku, bawalah bekal ini. Pergilah lewat pintu belakang sebelum raksasa itu menangkapmu."

"Baiklah, Mbok," Timun Mas segera berlari lewat pintu belakang.

"Ingat anakku, jangan sampai lupa pesan pertapa. Kau masih ingat bukan?"

"Ingat Mbok!"

"Baik, sekarang cepat larilah!"

Tidak berapa lama kemudian, raksasa sudah memanggil Mbok Rondo.

"Mbok Rondo, mana Timun Mas?!" suara raksasa itu terdengar tidak sabar.

"Maafkan aku, Raksasa..!"

Apa? Ada apa?"

"Timun Mas ternyat sudah pergi."

"Apa kau bilang?" geram raksasa itu.

"Maafkan aku....!"

"Kurang ajar, mengapa kau tidak bilang sejak tadi?"

timun masDengan marah raksasa itu segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lamat-lamat dari kejauhan ia melihat seorang gadis sedang berlari cepat di padang rumput.

"Hehehe...mau lari kemana kau gadis kecil?"

Dengan modal tubuhnya yang besar dan kesaktiannya, raksasa itu segera melangkahkan kakinya. Ia tidak perlu berlari kencang. Namun langkah-langkahnya yang lebar bagaikan gerak kaki kuda yang berlari cepat. Timun Mas yang berada di kejauhan dalam tempo singkat sudah hampir disusulnya.

"Walau lari ke ujung dunia, aku pasti dapat mengejarmu!" teriak si raksasa.

Karena terus menerus berlari, Timun Mas mulai kelelahan. Dalam keadaan terdesak, Timun Mas teringat akan bungkusan pemberian sang pertapa.

Ia mengambil segenggam biji timun dalam bungkusan. Cepat ia taburkan biji mentimun di sekitarnya. Sungguh ajaib. Mentimun itu langsung tumbuh dengan lebat. Buahnya besar-besar. Raksasa itu berhenti ketika melihat buah mentimun terhampar di hadapannya.

"Ha... ha... ha... buah mentimun ini akan dapat menambah tenagaku," kata raksasa.

Sejenak ia menatap Timun Mas yang terus berlari kencang menjauhinya.

Hehehe... tidak mengapa bocah manis, larilah sekuat tenagamu. Toh nanti aku akan dapat menyusulmu."

Lalu ia mencabuti timun-timun itu sekalian dengan daunnya yang masih muda.

Dengan rakus ia segera melahap buah yang ada, sampai tak satu pun tersisa.

Setelah kenyang, raksasa itu sejenak beristirahat. Ia tidak begitu kuatir melihat Timun Mas berlari cepat. Secepat-cepatnya gadis itu berlari, toh, ia akan dengan mudah bisa menyusulnya.

Hehehe....! Sekarang tenagaku bertambah kuat ! Aku pasti dapat menangkap gadis kecil itu!"

Benar saja, setelah cukup beristirahat, ia kembali mengejar Timun Mas. Hanya dalam beberapa gerakan kaki saja, ia sudah dapat menyusul Timun Mas.

Timun Mas ketakutan, lalu ia mengambil jarum dari kayu bambu yang dipotong kecil-kecil.

timun masDi saat yang kritis. Timun Mas menaburkan jarum ke tanah. Sungguh ajaib! Jarum-jarum itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.

Raksasa itu berusaha menembusnya. Namun tubuh dan kakinya terasa sakit karena tergores dan tertusuk bambu yang patah.

Ia pantang menyerah. Dan berhasil melewati hutan bambu itu. Ia terus mengejar Timun Mas.

"Hai, Timun Mas, jangan harap kamu bisa lolos!" seru si raksasa sambil membungkuk untuk menangkap Timun Mas.

Dengan sigap. Timun Mas melompat ke samping dan berkelit menghindar. "Oh, hampir saja aku tertangkap," Timun Emas terengah-engah.

timun masKeringat mulai membasahi tubuhnya. Ia ingat pada bungkusan pemberian pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan terasi.

Ia segera membuka tali pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan ke arah si raksasa. Seketika butiran garam itu berubah menjadi lautan.

Raksasa itu sangat terkejut, karena tiba-tiba tubuhnya tercebur ke dalam laut. Tapi, berkat kesaktiannya, ia berhasil berenang ke tepi. Ia kembali mengejar Timun Mas.

Merasa dipermainkan, kemarahan raksasa itu semakin memuncak. "Bocah kurang ajar! Kalau tertangkap, akan kutelan kau bulat-bulat!"


timun mas
Timun Mas semakin khawatir karena raksasa itu berhasil melewati lautan yang sangat luas itu. Akan tetapi, ia tidak putus asa. Ia terus berlari meskipun sudah kelelahan. Raksasa itu terus mengejar.

Timun Mas melemparkan isi bungkusan yang terakhir. Terasi itu langsung dilemparkan ke arah si raksasa. Tiba-tiba saja terbentuklah lautan lumpur yang mendidih.

Raksasa itu terkejut sekali. Dalam sekejab, Tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha menyelamatkan diri. Ia meronta-ronta. Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya pelan-pelan tenggelam ke dasar.

Timun Mas, tolonglah aku!" Aku berjanji tidak akan memakanmu," raksasa itu meminta belas kasihan.

timun masTapi lumpur panas itu menelan tubuh si raksasa. Matilah si raksasa di dasar danau. Kini Timun Mas bisa bernafas legas karena selamat dari bahaya maut.

Ia segera berjalan ke arah rumahnya. Di kejauhan nampak Mbok Rondo berlari ke arah Timun Mas, kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatn anaknya.

"Syukurlah anakku, ternyata Tuhan masih melindungimu." kata Mbok Rondo setelah keduanya saling mendekat. 

Mereka berpelukan dengan rasa haru dan bahagia. 

Thursday, 25 February 2016

sasakala lembur panyalahan





Sasakala Lembur Panyalahan :: Dongeng
ilustrasi: Mangle
Lembur panyalahan pernahna di wewengkon Pamijahan Kacamatan Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya. Pangna dingaranan Lembur Panyalahan téh cenah ku lantaran salah sangka, teu asak jeujeuhan nu ngalantarankeun korbanna hiji piaraan nu dipikameumeutna jadi korban. Dongéng lengkepna urang guar geura.

Jaman baheula, dihiji lembur aya kulawarga patani anu hirupna ayem tengtrem. Éta kulawarga téh ngabogaan budak orok kénéh. Dina hiji poé, éta panati téh manggihan anak maung anu ditinggalkeun paéh ku indungna. Anak maung téh dirorok jeung dipikayaah ku kulawarga patani téh sarta dingaranan “Si Loréng”.

Si Loréng ngarasa kahutangan budi ku patani téh, matak manéhna nurut jeung taat ka kulawarga patani. Malah lamun dititah nungguan anak patani manéhna sok nurut sarta satia nungguanana.

Saperti biasa, pamajikan patani nganteuran ka sawah. Orokna ditungguan ku si Loréng, da teu dibawa ka sawah. Tepi ka sawah, dibagéakeun ku salakina, terus gura giru hanjat ka saung sarta am dahar mani pogot pisan. Eureuleu teurab.

“Alhamdulillah, ambu mani nimat kieu timbel, sambel jeung goréng asin téh,” ceuk Pa tani.
“is puguh waé atuh akang, pan meunang ngahaja,” tembal pamajikanana.

“Ari si utun sare? Ceuik Pa tani.

“Muhun keur mondok, mani tibra téh kang, ditungguan ku si Loréng,” tembal pamajikanana.

“Alhamdulillah nya nyai, urang boga si Loréng nu kacida nurutna,” ceuk Pa tani.

“Nya puguh atuh Kang, jaba si Loréng téh sakitu gagahna,” tembal pamajikanana.

Barang keur hoghag ngobrol, teu kanyahoan ronghéap si Loréng datang, ngadeukeutan saung. Buntutna dikupat-képot, terus awakna diusap-usapkeun kana suku patani, sorana ngagerem siga aya nu rék dibéjakeun. Patani héraneun ningali kalakuan si Loréng kitu téh. Maranéhna kacida reuwaseunana barang nénjo sungut si Loréng pinuh ku getih seger. “Boa-boa dsi Loréng téh geus ngahakan anak aing,” ceuk pikirna. Ngan gantawang téh éta patani nyarékan laklak dasar ka si Loréng.

“Héy Loréng, manéh geus wani-wwani ngahinat ka aing, manéh pasti geus ngahakan anak aing, nya?”

Si Loréng kalah ka mencrong, siga nu teu boga dosa, terus huluna diguda-gideugkeun. Tina sangutna, ngeclakkan getih seger.

Nénjo kitu, pamajikan patani ceurik jejeritan, bari nyarékan si Loréng.

“Awas siah Loréng … dasar sato siah, nu asih dipulang sengit, ku aing dirorok ti leuleutik ari ayeuna kalah nghakan anak aing. Tobat…gusti, kumaha teuing anak aing, kaduhung…kaduhung…! Ceuk pamajikan patani bari terus jejeritan.

Nénjo pamajikanana ceurik bari jejeritan, terus patani téh beuki ambekeunana ka si Loréng, terus mesat bedog tina sarangkana. Teu antaparah, habek éta bedog téh dikadékkeun kana beuheung si Loréng. Si Loréng ngagerung nahan kanyeri, bari teu walakaya. Panonna neuteup siga nu nganaha-naha. Patani beuki ngagedur amarahna nénjo si Loréng, teu paéh téh. Ngan habek-habek beuheung si Loréng ditigas deui ku bedog patani nepi ka hulu si Loréng leupas tina awakna sarta paéh saharita.

“Modar siah.. dasar sato bangkawarah, teu beunang dipikayaah, kalah ka ngahakan anak aing,” ceuk patani.

Sanggeus kitu, bari satengah lumpat, patani jeung pamajikanana, balik muru ka imahna rék néang anakna. Barang tepi ka imahna, breh téh anakna masih kénéh aya dina ayunan keur saré tibra. Terus dipangku bari diciuman. Bray orok téh beunta, belenyéh seuri neutueup ka indung bapana.

“Alhamdulillah nyai, geuning anak urang téh salamet,” ceuk Pa tani.

“Enya akang, sukur alhamdulillah masih ditangtayungan kénéh,” tembal pamajikanana.

Barang rét ka handapeun ayunan, kasampak aya bangké oray nu sakitu gedéna boborot ku getih. Patani jeung pamajikanana kakara sadar, yén Si Loréng téh geus nyalametkeun anakna tina bahaya, nya éta oray nu sakitu gedena. Maranehna kacida ngarasa handeueulna, geus salah sangka ka si Loréng, nepi ka dipaténi, padahal si Loréng téh sakitu satia jeung belana ka kulawargana.

Ku kajadian éta, tempat pamatuhan patani dingaranan “Lembur Panyalahan” nurut kana nyalahanana patani ka si Loréng. Tug tepi ka kiwari éta tempat téh jadi “Lembur Panyalahan”

sasakala laut kidul

Pada tgl. 6 Februari 2008 lalu, Misteri mendapat undangan seorang rekan bernama Malau. Beliau mengajak Misteri untuk mengikuti ritual di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sebuah ritual untuk mengungkap asal usul Kanjeng Ratu Kidul. Tentu saja tawaran itu Misteri sambut hangat. Terlebih ketika dia mengatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak.

Sejauh ini terdapat berbagai pendapat seputar asal usul sosok Kanjeng Ratu Kidul. Ada yang mengatakan, Kanjeng Ratu Kidul sesungguhnya adalah Ratu Bilqis, isteri Nabi Sulaiman Alaihissalam. Dikisahkan, setelah wafatnya Nabi Sulaiman as., Ratu Bilqis mengasingkan dirinya ke suatu negeri. Di sana beliau bertapa hingga moksa atau ngahyang.

Legenda lain seputar Kanjeng Ratu Kidul adalah Dewi Nawang Wulan, sosok bidadari yang pernah diperisteri Jaka Tarub. Sedangkan kisah lain tidak secara spesifik menyebutkan asal Kanjeng Ratu Kidul, kecuali dia puteri seorang raja di Tanah Jawa.

Sinyalemen Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak bukannya tanpa alasan. Isu ini pertama kali dibicarakan tahun 1985, ketika dalam suatu acara adat Batak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), beberapa orang mengangkat masalah ini. Tetapi rupanya tidak terlalu mendapat respon yang hadir. Isu pun tenggelam dengan sendirinya.

Ketika Misteri membuka internet, hanya terdapat satu situs yang menyinggung masalah ini. Itupun hanya dalam beberapa baris kalimat saja. Demikian kutipannya:

“Ini dia cerita tentang Ratu Laut Selatan yang dipercaya sebagian orang sebagai Biding Laut, saudara dari Saribu Raja yang notabene adalah keturunan Raja Batak.…tapi baca dulu kisahnya ya… siapa tau Nyi Roro Kidul emang keturunan Raja Batak”. (23 desember 2004, http://mappa.blogspot.com). Hanya sekilas saja kalimat yang menyinggung Kanjeng Ratu Kidul sebagai orang Batak.

Padahal, sebagaimana diungkapkan Silalahi, di daerah Samosir ada seorang wanita yang kerap kali kemasukan roh Kanjeng Ratu Kidul. Wanita bernama Boru Tumorang ini sering mengaku sebagai Kanjeng Ratu Kidul ketika sedang trance. Itulah sebabnya, Boru Tumorang sengaja didatangkan ke Jawa untuk mengikuti ritual menguak asal usul Kanjeng Ratu Kidul.


LEGENDA BIDING LAUT

Sebelum melakukan perjalanan ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Misteri menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Silalahi (40 thn), spiritualis yang akan memimpin ritual tersebut.

“Legenda asal usul Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak ini tidak lepas dari kisah Raja-raja Batak,” demikian Silalahi memulai ceritanya.

Dikisahkan, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan kedua diberi nama Raja Isumbaon.

Putra sulungnya, yakni Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak (5 putera dan 6 puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri bernama: Biding Laut, Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.

Putri tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik perempuan lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada orangtuanya. Karena itu, Biding Laut tergolong anak yang paling disayangi kedua orangtuanya.

Namun, kedekatan orangtua terhadap Biding Laut ini menimbulkan kecemburuan saudara-saudaranya yang lain. Mereka lalu bersepakat untuk menyingkirkan Biding Laut.

Suatu ketika, saudara-saudaranya menghadap ayahnya untuk mengajak Biding Laut jalan-jalan ke tepi pantai Sibolga. Permintaan itu sebenarnya ditolak Guru Tatea Bulan, mengingat Biding Laut adalah puteri kesayangannya. Tapi saudara-saudaranya itu mendesak terus keinginannya, sehingga sang ayah pun akhirnya tidak dapat menolaknya.

Pada suatu hari, Biding Laut diajak saudara-saudaranya berjalan-jalan ke daerah Sibolga. Dari tepi pantai Sibolga, mereka lalu menggunakan 2 buah perahu menuju ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Marsala, dekat Pulau Nias.

Tiba di Pulau Marsala, mereka berjalan-jalan sambil menikmati keindahan pulau yang tidak berpenghuni tersebut. Sampai saat itu, Biding Laut tidak mengetahui niat tersembunyi saudara-saudaranya yang hendak mencelakakannya. Biding Laut hanya mengikuti saja kemauan saudara-saudaranya berjalan semakin menjauh dari pantai.

Menjelang tengah hari, Biding Laut merasa lelah hingga dia pun beristirahat dan tertidur. Dia sama sekali tidak menduga ketika dirinya sedang lengah, kesempatan itu lalu dimanfaatkan saudara-saudaranya meninggalkan Biding laut sendirian di pulau itu.

Di pantai, saudara-saudara Biding Laut sudah siap menggunakan 2 buah perahu untuk kembali ke Sibolga. Tetapi salah seorang saudaranya mengusulkan agar sebuah perahu ditinggalkan saja. Dia khawatir kalau kedua perahu itu tiba di Sibolga akan menimbulkan kecurigaan. Lebih baik satu saja yang dibawa, sehingga apabila ada yang menanyakan dikatakan sebuah perahunya tenggelam dengan memakan korban Biding Laut.

Tapi apa yang direncanakan saudara-saudaranya itu bukanlah menjadi kenyataan, karena takdir menentukan lain.


BIDING LAUT DI TANAH JAWA

Ketika terbangun dari tidurnya, Biding Laut terkejut mendapati dirinya sendirian di Pulau Marsala. Dia pun berlari menuju pantai mencoba menemui saudara-saudaranya. Tetapi tidak ada yang dilihatnya, kecuali sebuah perahu.

Biding laut tidak mengerti mengapa dirinya ditinggalkan seorang diri. Tetapi dia pun tidak berpikiran saudara-saudaranya berusaha mencelakakannya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menaiki perahu itu dan mengayuhnya menuju pantai Sibolga.

Tetapi ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahirannya. Selama beberapa hari perahunya terombang-ombang di pantai barat Sumatera. Entah sudah berapa kali dia pingsan karena kelaparan dan udara terik. Penderitaannya berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah Jawa, sekitar daerah Banten.

Seorang nelayan yang kebetulan melihatnya kemudian menolong Biding Laut. Di rumah barunya itu, Biding Laut mendapat perawatan yang baik. Biding Laut merasa bahagia berada bersama keluarga barunya itu. Dia mendapat perlakuan yang sewajarnya. Dalam sekejap, keberadaannya di desa itu menjadi buah bibir masyarakat, terutama karena pesona kecantikannya.

Dikisahkan, pada suatu ketika daerah itu kedatangan seorang raja dari wilayah Jawa Timur. Ketika sedang beristirahat dalam perjalanannya, lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik perhatian Sang Raja. Karena tertariknya, Sang Raja mencari tahu sosok jelita itu yang ternyata Biding Laut. Terpesona kecantikan Biding Laut, sang raja pun meminangnya.

Biding Laut tidak menolak menolak pinangan itu, hingga keduanya pun menikah. Selanjutnya Biding Laut dibawanya serta ke sebuah kerajaan di Jawa Timur.


TENGGELAM DI LAUT SELATAN

Biding Laut hidup berbahagia bersama suaminya yang menjadi raja. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Terjadi intrik di dalam istana yang menuduh Biding Laut berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum kerajaan pun ditetapkan, Biding Laut harus dihukum mati.

Keadaan ini menimbulkan kegalauan Sang Raja. Dia tidak ingin isteri yang sangat dicintainya itu di hukum mati, sementara hukum harus ditegakkan. Dalam situasi ini, dia lalu mengatur siasat untuk mengirim kembali Biding Laut ke Banten melalui lautan.

Menggunakan perahu, Biding Laut dan beberapa pengawal raja berangkat menuju Banten. Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Laut Selatan.

Namun malang nasib mereka. Dalam perjalanan itu, perahu mereka tenggelam diterjang badai. Biding Laut dan beberapa pengawalnya tenggelam di Laut Selatan.

Demikianlah sekelumit legenda Biding Laut yang dipercaya sebagai sosok asli Kanjeng Ratu Kidul.

“Dalam legenda raja-raja Batak, sosok Biding Laut memang masih misterius keberadaannya, Sedangkan anak-anak Guru Tatea Bulan yang lain tercantum dalam legenda,” kata Silalahi dengan mimik serius.

Sementara itu, Boru Tumorang (45 thn) mengaku sudah lama dirinya sering kemasukan roh Kanjeng Ratu Kidul. Terutama terjadi saat kedatangan tamu yang minta tolong dirinya untuk melakukan pengobatan. Tetapi Boru Tumorang tidak mengerti mengapa raganya yang dipilih Kanjeng Ratu Kidul. Semuanya terjadi diluar keinginannya.

kanjeng ratu laut kidul berasal dari tanah batak (bagian 2)
RITUAL PEMANGGILAN KANJENG RATU KIDUL


Untuk membuktikan keberadaan sosok legenda Biding Laut yang dipercaya sebagai Kanjeng Ratu Kidul, Misteri bersama 8 orang rekan yang semuanya bersuku Batak sengaja datang ke Pelabuhan Ratu untuk melakukan ritual pemanggilan roh Kanjeng Ratu Kidul.

Lokasi pertama adalah makam Guru Kunci Batu Kendit Abah Empar. Lokasi ini cukup dikenal masyarakat, terutama yang hendak melakukan ritual pemanggilan Kanjeng Ratu Kidul. Konon, di tempat ini Kanjeng Ratu Kidul memang biasa muncul.

Sebelum melakukan ritual, sebagaimana biasanya beberapa ubo rampe telah disiapkan, diantaranya: jeruk, jeruk purut, apel, daun sirih, pisang raja, anggur, minyak jin, kembang sepatu, tepung beras, kelapa dan gula (itaguruguru-bahasa Batak).

Sekitar pukul 22.30 malam, dimulailah acara ritual pemanggilan roh Kanjeng Ratu Kidul. Ketika itu, Silalahi dan Boru Tumorang tampak membaca mantera-mantera. Beberapa saat kemudian, Silalahi mulai menampakkan perubahan ekspresi wajah. Sosok gaib yang dipanggil tampaknya telah merasuk ke dalam raganya. Belakangan Misteri mengetahui, sosok gaib itu adalah roh Raja Batak.

Sementara dalam waktu hampir bersamaan, Boru Tumorang pun memperlihatkan ekspresi kesurupan. Tiba-tiba tubuhnya tersungkur lalu merangkak bergeser posisi. Setelah itu, dia kembali duduk dengan wajah tertunduk dan mata terpejam. Roh Kanjeng Ratu Kidul telah merasuk ke dalam raga wanita asal Samosir ini.

Terjadilah dialog dalam bahasa Batak antara Silalahi (yang sudah kemasukan roh Raja Batak) dengan Boru Tumorang dan beberapa orang yang hadir. Sepanjang dialog itu, ekspresi wajah Boru Tumorang berubah-ubah. Terkadang tersenyum, tertawa, menangis dan melantunkan lagu berisi sejumlah nasehat.

Kalimat pertama yang diucapkan Kanjeng Ratu Kidul adalah

”Kenapa baru sekarang kalian datang untuk menemui saya? Padahal saya sudah lama berada di sini,”ujar Kanjeng Ratu Kidul melalui bibir Boru Tumorang.

Ketika salah seorang yang hadir bertanya tentang Biding Laut, seketika Kanjeng Ratu Kidul menukas,” Ya, sayalah Biding Laut. Terserah apakah kalian akan percaya atau tidak.”

Selanjutnya dialog meluncur begitu saja. Beberapa dialog yang Misteri catat diantaranya saat Boru Tumorang menangis sambil berkata:

“Boasa gudang hamo nalupa tuauito (kenapa kalian sudah lupa sama saya)?” ujar Kanjeng Ratu Kidul melalui bibir Boru Tumorang. “Ahado sisukunonmuna (Apa yang kalian mau pertanyakan)?” lanjut Kanjeng Ratu Kidul.

“Hamirotuson nanboru namagido tangiansiangho (Kami datang kesini untuk minta doa dari Nyai),” jawab salah seorang yang hadir.

“Asadikontuhata pasupasu dohut rajohi (Biar diberikan Tuhan berkat kepada kami),” kata yang lain.

Tampak Boru Tumorang menggoyang-goyangkan tubuhnya. Kepalanya seperti digelengkan, terkadang mengangguk-angguk. Sesaat kemudian dia berkata,

“Posmaruham, paubahamuma pangalaho rohamuna (Percayalah. Asalkan kalian berubah sikap dan tingkah laku menjadi lebih baik, itu pasti akan terjadi).”

Selanjutnya dia berkata lagi,”Asarat martonggo mahita tuoputa (Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan).”

“Molonang muba rohamu nalaroma balainna he he mamuse kuti tuinjang (Kalau tidak berubah sikap dengan baik akan muncul bencana lagi-tsunami)”

“Dangdiadia dope namasae naosolpu nalaroma muse naung gogosiani (Belum seberapa bencana yang sudah lalu. Lebih dahsyat bencana yang akan datang lagi. Kalau kalian tidak percaya kepada Tuhan).”

Nasehat Kanjeng Ratu Kidul itu tampaknya ditujukan ke semua orang. Sedangkan kepada anak keturunannya dari suku Batak, Kanjeng Ratu Kidul berkata,

”Posmarohamu amang paboanhudoi tuhamu pomparanhu dibagasan parnipion (Percayalah. Semua keturunanku akan saya beritahukan lewat mimpi masing-masing).”

“Posmaroham amang patureon hudo sube popparamme (Percayalah, akan saya bantu dan saya tolong semua keturunannmu ini).

Kanjeng Ratu Kidul juga berpesan kepada semua manusia agar tidak membeda-bedakan suku,

”Pabohamu tumanisiae asa unang mambedahon popparanhisude (Beritahu kepada semua manusia supaya tidak membedakan suku).”

Dialog dengan roh Kanjeng Ratu Kidul itu berlangsung sekitar setengah jam. Isi dialog sarat dengan nasehat kepada manusia agar selalu berbuat kebajikan.

Namun yang pasti, dalam dialog itu juga Kanjeng Ratu Kidul menceritakan sosok asal usul dirinya dan nama aslinya.

Upaya penelusuran ini membuka wacana baru seputar asal usul Kanjeng Ratu Kidul. Acara ritual ini pun tidak dimaksudkan untuk membenarkan satu fihak. Sebagaimana dikatakan Silalahi,

“Kami tidak bermaksud mengklaim kebenaran pendapat kami,”ujar Silalahi sambil tersenyum. “Tetapi kami hanya mencoba mengangkat kembali sebuah isu yang sudah lama berkembang di daerah kami. Kebenarannya boleh saja diperdebatkan,” lanjutnya.

Benar apa yang dikatakannya. Sosok gaib Kanjeng Ratu Kidul memang layak diperdebatkan. Keberadaan maupun asal usulnya bisa darimanapun juga. Tetapi yang pasti, nasehat-nasehat Kanjeng Ratu Kidul yang diucapkan melalui medium yang keserupan, seringkali mengingatkan kita untuk selalu percaya kepada Tuhan.

Sasakala Batu nu Bisa Ceurik





Kacaturkeun jaman baheula, di hiji désa atawa lembur di sisi gunung nu aya di wewengkon Kalimantan, aya hiji awéwé randa nu hirup babarengan jeung saurang anakna, awéwé, nu umurna geus mangkat rumaja atawa sawawa. Éta budak awéwé téh kacida geulisna! Da cacak lamun cicingna di kota mah tinangtu geus jadi pamajikan sudagar kaya atawa kaum bangsawan. Sok sanajan geulis rupana, éta budak awéwé téh ngabogaan sipat anu goréng, adigung, jeung kacida pisan ngedulna!

Sasakala Batu nu Bisa Ceurik :: Dongéng
ilustrasi: Mangle
Biasana lamun indungna indit ka kota rék ngiangkeun hasil tatanén jeung suluh, anakna téh tara diajak, sok sina cicing wé nungguan imah. Tapi dina hiji poé mah anakna téh diajak, ngarah apal kayaan kota sarta ngarah nyaho kawas kumaha ripuhna nu jadi indung dina sual pangabutuh sapopoé. Puguh wé anakna ngarasa bungah naker diakan ka kota téh, da puguh arang langka nyaba. Manéhna tuluy dangdan sateker kebek, ngarah katingal leuwih geulis! Pasusubuh arindit ti imahna téh, laleumpang. Inditna ngakeup suluh bari angkaribung ngajingjing sarta nyunyuhun karanjang nu dieusian ku hasil tatanén jualeun ka pasar. Ari anakna mah leumpang ti heula, ngagandeuang teu barangbawa nanaon pisan! Dangdananana ginding, maké papakéanana nu wareuteuh. Sabalikna ari indungna mah maké papakéanana téh estuning basajan pisan, maké papakéan nu biasa dipaké gawé sapopoéna!

Di jalan di pasampangan, unggal panggih jeung jelema teu weleh waé maruji kana kageulisan budak awéwé téa bari puk-pok naranyakeun ka indungna:

“Leuh, aya ku geulis éta Si Nyai! Tuang putra éta téh, Bu? Ceuk nu nanya. Saméméh pok indungna ngajawab kaburu dipiheulaan ku anakna dijawab kieu:

“Oh, sanés, abdi mah sanés putrana, tapi dununganana! Ieu téh pakacar abdi!” ceuk budakna téh bari nuduhkeun indungna.

Kitu jeung kitu wé, unggal aya nu nanyakeun ngeunaan indungna, si budak awéwé téh sok ngajawab yén anu ditukangeun manéhna téh pakacarna atawa babuna, lain indungna!

“Aya ku teungteuingan Nyai, ka indung ngakukeun babu! Ieuh, najan hadé-goréng ogé apanan Ema téh indung hidep! Ceuk indungna.

“Da éra atuh, Ema! Moal enya ari kuring sakieu gindingna, ku batur pada nyarebut geulis, sedengkeun ari indung sorangan meuni sakitu rudinna! Éra atuda ngakukeunana gé!” tembal anakna bari kuraweud, jamotrot.

Di satengahing jalan indung jeung anak paréaréa omong, pacental-cental! Ahirna bakating ku nyeri haté dihina ku anakna, pok wé indungna téh nyarita kieu:

“Nya enggeus atuh Nyai, ari sakirana manéh bedegong sarta gurat batu mah, embung ngakukeun yén Ema indung manéh, ti semet ayeuna kénéh manéh mah bakal jadi batu …! Ceuk indungna. Réngsé indungna nyarita kitu, dadak sakala langit ujug-ujug angkeub! Gelap pating beledag! Si budak awéwé anu doraka ti indungna kabentar ku gelap! Awakna tutung, sarta harita kénéh robah jadi batu!

Éta batu téh ngaluarkeun cai, nu dipercaya cenah éta téh cipanon budak awéwé téa anu keur ceurik lantaran ngarasa kaduhung! Nepi ka kiwari éta batu téh nelah disarebut “batu menangis.***

sasakala danau toba

Kacaritakeun di padumukan Sumatera aya patani anu getol digawe. Manehna hirup sorangan. Unggal poe digawe ngahuma jeung ngala lauk teu nyaho kacape. Manehna ngalakukeun ieu pikeun kahirupan sapopoena.
Hiji poe manehna indit ka leuwi teu jauh ti imahna, neangan lauk jang poe ayeuna. Ngan ngamodal jeujeur, eupan jeung korang (wadah lauk), manehna langsung indit ka leuwi. Saprak nepi di leuwi, manehna langsung ngalungkeun jeujeurna. Salila ngadagoan eupanna didahar ku lauk, patani eta ngadua “Gusti, mugia abdi dinten ieu abdi dipaparin rizki (lauk) anu seeur”. Teu lila ti saprak geus ngadua, eupan anu dialungkeun teh geus kaciri rek dihakan ku lauk. Manehna langsung ngabedol jeujeurna. Eta patani atoh kacida, kusabab meunang lauk nu kacida badagna jeung naker geulisna.
Teu lila ti eta saenggeus nempo hasil beubeunanganna, eta patani kacida reuwasna kusabab lauk nu td beunang teh bisa ngomong. “Tulung kawula ulah didahar! Antepkeun kawula hirup”, gorowok eta lauk. Teu loba nanya, lauk beubeunanganna teh langsung dibalikeun deui kajero cai. Saenggeus ngabalikkeun lauk ka jero cai, eta patani nambah deui kareuwasna, kusabab ujug-ujug lauk eta teh robah jadi awewe anu geulis kacida.
“Ulah sieun, kawula moal nyilakakeun anjeun”, ceuk lauk jelmaanna teh. “Anjeun saha? Lainna anjeun teh lauk anu tadi beunang ku kami?”, ceuk patani eta nanya semu panasaran. “Kawula putri nu dikutuk kusabab ngalanggar aturan karajaan”, jawabna eta awewe. “Hatur nuhun geus ngabebaskeun kawula tina tuntutan ieu. Pamulang tarima kawula ka anjeun daek dipikaistri ku anjeun”, ceuk eta awewe. Patani eta oge nyatujuan. Teu lila ti eta patani jeung putri eta jadi suami istri. Ngan aya hiji janji anu kudu dilaksanakeun nyaeta si patani teu meunang nyaritakeun asal muasalna putri eta teh mangrupa lauk. Lamun janji eta teu dilaksanakeun bakal cilaka nu kacida gedena.
Teu lila ti maranehna kawin, kabagjaan patani jeung pamajikanna nambah, kusabab pamajikanna ngalahirkeun budak lalaki. Nitik kana mangsa budakna teh jadi budak anu kuat jeung kacida kasepna, tapi aya kabiasaan anu ngajieun batur hemeng. Eta budak sok ngarasa lapar wae jeung teu pernah ngarasa wareg. Kabeh jatah keur daharna beak teu nyesa.
Nepi ka hiji mangsa eta budak dititah indungna pikeun nganterkeun dahar jang bapana nu keur gawe di sawah. Tapi naon anu dititah ku indungna henteu ditepikeun ku bapana. Kabeh kadaharan dibeakeun nu pikeun bapana dibeakeun ku manehna. Saenggeus dahar budak teh nepi kasarena di hiji saung. Bapa na nungguan budakna nu rek nganterkeun sangu bari nahan haus jeung lapar. Kusabab teu tahan lapar manehna balik ka imah, di tengah jalan patani nempo budakna keur sare di saung. Manehna langsung ngahudangkeun budakna. “Heh, hudang!”, gorowok eta patani.
Saenggeus anakna hudang, patani teh nanyakeun kadaharannana. “Mana kadaharan jang bapa?”, tanya eta patani. “Tos seep dituang”, jawabna eta budak. Bari ngagorowok patani langsung nyarekan budakna. “Budak bangkarwarah! Teu boga kaera! Dasar katurunan lauk!”, ceuk patani napsu bari teu sadar ngucapkeun pantangan ti pamajikannana.
Saenggeus ngucapkeun kata-kata eta, harita keneh budak jeung pamajikanna leungit. Teu kaciri jungkrungannana. Tina kurut tapak sukuna, kaluar cai nu kacida badagna. Cai ngeeum sakabeh desa anu ngabentuk hiji talaga. Jeung akhirna ngabentuk hiji danau (situ). Danau (situ) eta balukarna katelah ku ngaran Danau Toba.